Sore itu, seorang
teman membonceng saya. Kami baru saja menghabiskan dua porsi bakso keju di
daerah pettarani. Dengan motor beat-nya,
kami melaju ke arah Perintis Kemerdekaan. Melewati jembatan gantung, hujan
turun. Awalnya, temanku memacu motornya lebih cepat. Namun akhirnya, kami kalah
melawan hujan.
Kami berteduh di
tempat penjual tanaman di daerah panaikang.
Aku duduk di
lantai papan. Aku menerima percikan dari kendaraan yang menginjak genangan air.
Beberapa mobil dan motor tidak memperhitungkanku yang duduk berteduh.
Tak lama
berselang, seorang wanita tua lewat dengan badan yang tidak lengkap. Ia tidak
memiliki kaki. Dengan tempat duduk yang diberi roda, ia melewati kami yang
sedang berteduh. Temanku menghampirinya dan memberikan uang dua ribu. Wanita
tua itu balik badan dan memberikan senyum kepada temanku. Sungguh transaksi
kebahagiaan yang nikmat ditonton disaat berteduh.
Wanita tua itu
pergi. Aku memperhatikannya. Aku tak henti berpikir. Aku yakin Tuhan tidak
pernah menciptakan produk gagal. Namun, aku masih bingung, mengapa ada ciptaan-Nya
yang lengkap tubuhnya dan tidak. Sama seperti bayi, ada yang terlahir miskin
dan ada yang kaya.
Aku jadi ingat Anti,
anak yang menjual kerupuk di FISIP. Ia harus bangun jam empat subuh untuk
membantu ibunya membungkus kerupuk. Ia berjualan mulai pukul delapan pagi
sampai enam sore.
Aku juga jadi
ingat Afif, anak bosku di kantor. Ia kelas empat SD. Ia suka makan dan memerintah.
Jika ada yang menolak, maka bersiaplah untuk menghadapi ibunya.
Kata ibuku,
terlahir sebagai orang miskin bukanlah sebuah aib. Tapi, dari Anti dan Afif aku
belajar, bahwa terlahir sebagai orang miskin artinya beban hidup bertambah jadi
dua kali lipat.
Temanku duduk di
samping kananku. Ia bilang, di depan kami itu kuburan orang muslim. Di
sampingnya lagi kuburan pahlawan, sedangkan di belakan kami adalah kuburan
orang nasrani. Ia tertawa setelah menjelaskan itu. Katanya, manusia benar-benar
membantu malaikat mengerjakan tugasnya. Dengan memilah kuburan berdasarkan
agama dan profesi, maka malaikat tidak akan susah payah bertanya.
Aku tertawa
mendengar guyonannya. Entah mengapa wajah Feni Rose tiba-tiba melintas di
kepalaku. Ingatanku memutar iklan yang menawarkan tempat pemakaman elit di
Jakarta. Dalam iklan tersebut, ada tawaran harga yang berkisar mulai dari empat
ratus juta sampai dua milyar rupiah.
Kuceritakan hal
itu kepada temanku. Ia menanggapinya biasa saja. Tampaknya, ia ingin segera
pulang. Aku berdiri. Ketepuk-tepuk bagian belakang celanaku untuk mengusir debu
yang menempel. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan karena hujan reda.
Di atas motor,
aku tak berhenti memikirkan kuburan. Bukan karena takut mati, tapi aku takut
tak kebagian tanah tempat jasadku dikubur nanti. Kata temanku, pemakaman
membutuhkan sejumlah uang.
Aku jadi ingat Anti
dan Afif lagi. Afif bisa mati kapan saja ia mau dan keluarganya mampu
menyediakan lahan terbaik untuk jasadnya. Sementara anti, untuk makan
sehari-hari saja ia susah, apalagi untuk membeli tanah di lahan pekuburan.
Saat ini aku
sadar satu hal. Bukan hanya terlahir miskin yang akan menambah beban hidup,
tapi juga mati dalam keadaan miskin.