FRESCO

MISTERI IKAN KOLAM FISIP


Daun bougenville masih rindang dengan suhu yang hampir membuatku mendidih. diantara bebatuan kecil didasar kolam, kurebahkan tubuh bagian kananku untuk sekedar memandangi awan yang terlihat samar dari bawah sini.

waktu kecil, aku pernah bermimpi untuk dapat melihat langit dengan jelas. ingin sekali aku menceritakan mimpiku ini kepada ibuku. tapi apa daya, aku dibesarkan di sebuah penampungan yang tidak memberikanku catatan lengkap tentang orang tuaku. siapa peduli kepadaku?

kumainkan kembali siripku agar tubuhku melayang di antara air kolam. sebagai penghuni baru di sini, adalah satu tradisi jika kita menjadi penyendiri. Ini bukan kolam pertama yang aku huni. jauh sebelum dibeli oleh seorang anak perempuan yang kuliah di Fakultas Teknik, aku pernah dirawat oleh seorang bapak yang melepaskanku di antara ikan yang tidak sejenis denganku. seperti biasa, ikan yang merasa bergerombol tidak akan berbaik hati kiuepada ikan yang tidak sejenis.

setelah dibeli oleh gadis Teknik itu, aku sempat menghuni akuariumnya sekitar dua minggu sebelum diserahkan kepada teman tetangga kamar kosannnya. oleh teman kosannnya itu, aku kemudian dipelihara sekitar delapan bulan bersama ikan berlainan jenis yang silih berganti karena mati tak tahan dengan pergantian suhu pada air akuarium,

Tiga minggu yang lalu, aku dialihkan ke kolam ini. sebuah kolam berair dangkal yang bertempat di depan ruang akademik FISIP UNHAS. menurutku, ini adalah panti jompo. setelah aku tak cantik lagi untuk dipelihara di akuarium, tuanku kemudian membawaku kesini untuk sekedar dipastikan bahwa aku masih tetap mendapatkan tempat tinggal.

cahaya matahari makin condong ke barat. dua menit yang lalu aku lihat ada anak lelaki berseragam yang biasanya membuang pembungkus permen ke kolam ini. ah, semoga hari ini anak itu lupa makan permen. aku sudah bosan minum air yang tercampur dengan rendaman plastik.

oh ia hampir lupa, aku diberi nama swiper oleh orang yang menaruhku di kolam ini. orang itu sih selalu datang untuk memberiku makan setiap hari. tapi dia tidak tahu bahwa yang memakan pelet yang ia berikan bukanlah aku. selaku orang baru, aku takut melanggar istiadat di kolam ini. lagian aku ikan pemakan lumut. akan tetap bugar walaupun tanpa perhatian.

----------------------------------------------------------------------------------------

malampun datang. dan seperi itulah keseharianku berlalu. memasuki minggu keempat, aku mulai terbiasa dengan rumah baru ini. sekarang bisa kusebut rumah karena aku sudah bisa bersosialisasi dengan satu ikan koi dan empat ikan bersirip merah lainnya.

dua hari yang lalu, kami kedatangan tamu tak diundang. lima pasang katak kasmaran yang sekonyong-konyong datang dan bercinta di rumah kami. kami merasa dihina. selaku ikan yang beretika, aku tak mau rumahku dijadikan tempat prostitusi katak besar-besaran. tapi apa boleh buat, aku tak punya kekuatan apa-apa untuk mengusirnya. toh ikan sirip merah yang menjadi ketua kami juga tak berpendapat apa-apa.

dan akibatnya, saat ini kami dikelilingi oleh ribuan bayi katak. mereka tidak rewel sih, tapi mereka berlendir. aku tidak suka. entah mengapa aku ingin membuat partai benci katak.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

pagi ini tak seperti biasanya. aku dibangunkan bukan oleh sinar matahari. lebih dari itu, ada cabang bougenville yang mengenai punggungku. lumayan sakit rasanya untuk mahluk vetebrata sepertiku.

dengan tidak terlalu jelas kulihat ada tiga orang pria dewasa sedang sibuk di seputaran rumah. ikan yang lain masih tidur rupanya. perlahan aku berenang menghampiri mereka. tapi sebelum aku membangunkan mereka, ada sebuah kaki yang masuk kedalam kolam dan mengagetkan kami semua.

kaki itu kemudian berjalan ke arah ujung kolam dan membuka sebuah penutup kain yang berada di bagian bawah kolam. perlahan aku merasakan aliran air tersedot ke arah ujung kolam yang dibuka penutupnya itu. sekuat tenaga aku bawa diriku melawan arus air. semakin lama air semakin kuat menyedot.

kurasakan ada tangan besar yang menjepit tubuhku. aku berusaha untuk melepas cengkramannya. tapi sampai aku diceburkan kedalam sebuah ember biru, aku tak bisa melawan sama sekali. aku pasrah. padahal aku baru saja merasakan indahnya menjadi penghuni Rumah yang diterima oleh penghuni lama. di ember biru ini, tidak ada kepastian akan dibawa kemana aku nanti.


--------------------------------------------------------------------------------------------------




GADIS SEPATU KETS


Setengah berlari aku menghampiri pintu ruangan 109 yang digunakan untuk mata kuliah Event Management I. Mengingat kuliahku pukul 13.00 sedangkan sekarang jam menunjukkan 13.45, maka tidak ada alasanku untuk memperlambat langkah. Pelan-pelan kutarik pegangan pintu. dari dalam kelas kudengar ada suara teman perempuanku. setelah itu kulihat beberapa teman berada di depan sedangkan yang lainnya duduk seperti biasa.

kelompokku sedang presentasi rupanya.

Aku memang termasuk golongan mahasiswi pemalas secara akademik. Biasanya, aku lebih memilih membicarakan isu kemanusiaan di kantin kampus ketimbang masuk kuliah dan sekedar tanda tangan absen. kupikir, jika kita kuliah hanya untuk tanda tangan saja, maka di kursi angkutan umumpun kita bisa tanda tangan.

Oh ia, kalian bisa memanggilku Cita. Di dalam kartu keluarga, namaku menjadi Cita Lestari. Beberapa kakek dan nenek yang kutemui kerap kali mengganti namaku menjadi Sita. kata ibu, aku diberi nama cita karena artinya yang sangat penting untuk kelangsungan hidup keluarga. Cita berasal dari bahasa sansekerta yang berarti seonggok kayu. Sebagai anak dari seorang pengusaha kayu, nama itu menjadi doa atas ketersediaan pohon yang siap diolah menjadi kayu yang kemudian bertransformasi menjadi uang dan membelii nasi, komputer, guci, gorden dan jarum pentul di dalam rumahku.


Hari ini, Aku akan memberitahumu sebuah rahasia. satu misi berbahaya yang baru saja selesai kukerjakan tanpa meninggalkan jejak. Jika kau pernah berkunjung ke ruang Wakil Dekan IV di kampusku, maka kau akan disuguhkan satu set kursi dan meja untuk menemanimu menunggu giliran bertemu dengan beliau. Di atas meja tersebut, ada sebuah vas bunga besar dengan air yang hampir memenuhinya serta bunga segar yang membuatnya lebih manis. Aku menjadikannya objek operasi hari ini. Dengan keyakinan bahwa tidak ada kamera CCTV yang merekam kejadian siang tadi, kulepaskan seekor ikan koki untuk menambah hiburan bagi orang-orang yang sedang menunggu giliran itu. bersamanya, aku tinggalkan sebungkus makanan ikan dan surat yang berisi "Namanya Sisi, tolong jangan dibunuh, nanti masuk neraka".


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


BERKUNJUNG KE GUA HANTU


Dari kaca spion, bisa kulihat senyum kembang-kempis di bibirnya. sesekali ia melirik ke arahku dengan pandangan yang menjengkelkan. bukan sekali ini aku berada di atas motornya tanpa tahu akan dibawa kemana. dan seperti biasanya, aku pasrah dengan senang hati.

"kita mau kemana?"
"ke gua hantu"
"Gua hantu?"
"Ia, nanti ada hantu kecil, hantu besar, sama hantu perempuann.  paling berbahaya sih hantu kecil, suka usil."
"iihhh katanya takut hantu. kok ke gua hantu sih?"
"kan ada kamu, jadi aku pura-pura berani"
"gigimuu!"

motor kami melewati daerah tempat pembuangan sampah. perasaanku mulai tidak karuan. sebagai seorang tawanan yang tidak mau terlihat lemah, aku bertingkah biasa saja. Ia memang suka memberiku kejutan. layaknya hari ini, ia berhasil membuatku tak berhenti menebak-nebak.

Bintang. Aku memanggilnya dengan sebutan itu. Ia adalah Manusia dengan alat reproduksi laki-laki yang senang melihat kota dari atas gunung. katanya, ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri ketika ia dekat dengan langit. Aku bilang padanya kalau naik pesawat saja jika hanya ingin dekat dengan langit. Namun katanya, dari atas gunung ia bisa berusaha menaruh awan di saku celananya. hal yang tidak mungkin dilakukan saat naik pesawat. Wajahnya manis. meskipun tidak tergolong tampan, toh fisik selalu bisa dimaafkan ketika tingkah laku bisa menopang.

Dua hari lalu, aku juga berada di atas motor yang sama dengan ketidak tahuan yang sama pula. waktu itu sudah lewat tengah malam. Ia membawaku menyusuri jalanan kecil yang mengantarkan kami ke sebuah rumah kosong. Rumah yang dikelilingi rumput setinggi betis. katanya, ini rumah salah satu saudara jauhnya yang merantau ke Kalimantan saat ia SMP dan tidak pernah kembali lagi. Dengan perasaan berdebar aku mengikutinya masuk ke dalam rumah kecil yang tak terawat itu. cahaya remang-remang yang melewati ventilasi menambah aura negatif. Ia menghentikan langkahnya di depan sebuah dinding besar. dari dalam tasnya, ia mengambil dua buah head-lamp. saat aku sibuk memasang head-lampku, ia mengeluarkan beberapa pilox . aku tersenyum. kamipun mengisi dinding kosong itu dengan gambar yang tidak direncanakan sebelumnya. sekali lagi, ia berhasil membuat hidupku menjadi tidak normal.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

keringat dingin membasahi pelipisku. seolah duduk di atas bara api, aku merasa ingin cepat beranjak dari tempat ini.

"ayo dimakan kuenya"
"hehe. ia kak"
"anggap rumah sendiri yah"
"ia kak"

 Lima menit yang lalu motor kami berhenti di sebuah rumah minimalis yang terletak di daerah perumahan yang menurutku masih tergolong baru. dari luar pagar kudengar suara seorang lelaki memanggil nama seseorang sambil menyuruhnya masuk kedalam rumah. bisa kusimpulkan itu seorang ayah yang sedang memanggil anaknya.

kulepaskan helm dari kepalaku. Bintang berjalan ke arah pagar dan membukanya. selanjutnya, Ia mengajakku masuk ke dalam rumah.

"Oh ini toh pacarnya Bintang" kata seorang perempuan muda berjilbab ungu dengan senyum di wajahnya
"Kenapa mau sama Bintang nak, Bintang jarang mandi loh" tukas salah seorang di sampingnya sambil tertawa

Aku hanya tresenyum sembari mengucapkan salam.

Diluar dugaan, Bintang membawaku ke rumah kakak sulungnya yang ternyata menjadi tempat berkumpul seluruh keluarganya. karena salah satu kakak perempuannya yang berdomisili di Bandung pulang ke Makassar, maka terjadilah acara makan bersama keluarga ditambah aku di dalamnya. Bintang sialan!


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

IKAN KOKI SAMPING JENDELA


Gelembung udara menampar pipi kananku. kusiapkan kembali kekuatan ekstra untuk menembus gerombolan gelembung yang keluar dari lubang hitam. Lubang hitam itu adalah ujung dari sebuah benda asing berukuran besar yang dicelupkan kedalam rumahku. jika aku berada di sekeliling benda asing itu, tubuhku merasa seolah dihisap. Dan jika aku berada di depan lubang hitam, maka aku akan diserbu oleh gelembung yang menghentak dan menyegarkan. sudah dua hari aku senang bermain dengan gelembung. Aku menjadikannya bahan untuk berolah raga.

Rumahku tak terlalu besar, tapi cukup untuk menampungku dan sepuluh ikan lainnya. tidak banyak pernak-pernik di rumah ini, tak seperti rumah yang sebelumnya aku tinggali. di dalam rumah hanya satu pohon bambu yang terbuat dari semen dan satu batu karang yang sudah mati. lantainya terbuat dari batu kolam yang dicat putih. semuanya membuatku lupa bagaimana habitatku yang sebenarnya.

Lampu menyala. kulihat seorang gadis duduk tepat di depanku. Ia bahkan belum melepas ranselnya ketika tangan kanannya menaburkan pelet kesukaanku di permukaan air. buru-buru kugerakkan siripku untuk menaikkan tubuh gendutku ke permukaan. karena aku tidak tinggal sendiri, maka jika aku lengah dalam mengambil makanan, bisa-bisa aku tidak akan disisakan makanan oleh teman-temanku. meskipun kami sudah sangat lama bersama di rumah ini, bahkan jauh sebelum kami pindah ke rumah ini, namun makanan menjadi sesuatu yang tidak bisa dikompromikan. Terlebih gadis yang memelihara kami hanya memberi kami makan saat ia pulang pada malam hari. intinya, kami tidak pernah meninggalkan teman, kecuali untuk makan.

gadis itu menanggalkan headset dari telinganya. aku selalu suka melihat tengkuknya. melihatnya menyisir rambut tepat di atas rumahku. aku bersyukur ia menaruh cermin di dinding samping kiri rumah. alhasil, aku bisa melihatnya tersenyum sendiri setelah selesai menyisir rambut atau memakai bedaknya. ketika ia tersenyum di depan cermin, akupun akan ikut tersenyum malu-malu.

ini adegan yang aku suka. saat ia menonton tv dengan wajah datar, ia suka menggaruk tumitnya. sesekali ia memijit kakinya sendiri. aku suka memperhatikan ketika ia sedang perhatian kepada dirinya sendiri. lumayan beruntung ia pulang cepat hari ini. biasanya, ia pulang ketika subuh hampir menyapa.

handphone-nya berdering.

sebelum mengangkat telepon, ia tersenyum terlebih dahulu. bibirnya tertutup dan terbuka sesuai irama. ini adalah salah satu musik pengantar tidurku. hampir setiap malam, ia memang suka mengangkat telpon kemudian mondar-mandir di atas tempat tidur. aku tak perduli siapa yang membuatnya mondar-mandir. yang aku tahu, ia senang melakukannya.

waktu hampir subuh. jika sudah seperti ini, aku biasanya khawatir kepadanya. ia gadis yang rajin. ia selalu berangkat pagi hari. jika hampir subuh dan ia belum tidur, itu artinya ia akan kekurangan tidur. jika ia kurang tidur, mungkin saja ia sakit. aku bisa saja senang jika ia sakit. toh aku bisa lebih lama memandangi tengkuknya. tapi bukan itu yang aku inginkan. aku hanya ingin melihatnya melakukan apa yang ia inginkan. tentu saja, sakit akan menghalanginya melakukan itu.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ujung telunjuknya menyentuh permukaan air. Inilah yang membuatku mencintai pagi hari. meskipun jendela tidak pernah dibuka untuk membiarkan cahaya masuk menerangi, namun kebiasaannya memasukkan jari ke rumahku menjadi alasanku untuk bangun lebih pagi.

bergegas aku membuka mulutku lebar-lebar untuk mengecup jarinya. sesekali ia mengangkat jarinya ketika teman-temanku ikutan menciumi jarinya. kabar aku menyukai gadis itu nampaknya sudah menyebar luas ke seluruh penghuni rumah. tak henti aku digodai oleh teman-temanku. dari balik kaca rumah, kulihat ia tersenyum sambil mengelap ujung jarinya dengan kaos putih yang ia gunakan.


manusia dan pertemuan

Sebagai mahluk pemakan karbohidrat yang berkeliaran di atas bumi, sangat dimungkinkan kita akan bertemu dengan mahluk pemakan jenis tumbuhan lainnya yang juga senang menaruh jejak kaki di permukaan bumi.

untuk dua orang yang namanya sama-sama tercatat di suatu institusi pendidikan ataupun suatu kelompok tertentu, bertemu di kampus ataupun di tempat nongkrong komunitas adalah suatu hal yang biasa saja. Tapi jika pertemuan itu terjadi di tempat diluar lingkaran kekuasaan institusi atau tempat nongkrong komunitas, maka kita biasanya akan merasa seolah hal itu adalah keajaiban.

bertemu di supermarket atau di warung makan misalnya. secara tidak di rencana, kita pasti pernah bertemu dengan orang yang biasa kita temui di kampus namun tidak kita sangka akan bertemu di supermarket tempatmu membeli kebutuhan bulanan.

kehidupan di zaman milenium ini adalah kehidupan dimana kita akan banyak bertemu dengan orang yang tidak kita kenal setiap harinya, dan kita tidak akan peduli dengan orang yang tidak kita kenal itu. sementara kita akan merasa dijodohkan dengan seseorang ketika kita sering bertemu dengan satu orang yang sama tanpa disengaja.

ketidak sengajaan dalam sebuah pertemuan membawa cerita yang bisa merangkai bahasanya sendiri. ada yang bilang kalau kamu mau jalan-jalan mending jangan direncanakan jauh-jauh hari. biarin aja semuanya ngalir kayak air. bisa aja dipake mandi sama Adipati Dolken, kemudian tiba-tiba jatoh deh ke comberan.

pertemuan bekerjasama dengan alam. untuk bertemu secara tidak disengaja, kalian harus memenuhi syarat yang sama untuk bisa mencapai suatu tempat yang sama untuk kalian dipertemukan. pada tataran ini, sungguh tidak ada yang kebetulan di dunia ini. bahkan paku di jalanan akan menentukan dengan siapa kalian akan bertemu hari ini.

jika pertemuan adalah sesuatu yang memang telah dirancang oleh Tuhan, alam dan usaha dari manusia itu sendiri, lalu mengapa masih ada yang bilang "kebetulan kita ketemu di sini"?

Planet Lacasino

berjarak kurang lebih delapan ratus liter cahaya dari bumi tamalanrea, aku sekarang sedang duduk manis di depan sebuah meja kerja berukuran standar dan teh pucuk harum di sebelah kiri laptop.

Planet lacasino. itulah nama yang aku lekatkan pada tempat ini. selain suka minum air putih, aku juga suka memberikan nama kepada apapun yang aku temui dan menurutku penting untuk diingat. sebagai gadis dua puluh tahun yang selalu lupa bagaimana caranya mengatur koneksi wifi di smartphone, memberikan nama kepada apa saja yang kita sukai akan mempermudah ingatan tentang hal itu.

Namanya juga manusia. kalau ke tempat baru kita pasti bakal merasa asing. ibarat mahluk planet lain yang mencoba bertamu di bumi, masyarakat bumi akan selalu mecoba mengetahui apa motif yang dibawa oleh mahluk luar bumi itu. saat ini, aku sedang menjadi mahluk tamalanrea yang berkunjung ke planet lacasino menggunakan roket dengan tarif empat ribu rupiah.

Dari lantai ke dua yang dibuat dari pasir, semen, batu dan kuman di tangan pekerja bangunan ini aku bisa melihat berbagai kendaraan berlainan jenis saling bahu-membahu menindih punggung aspal.

kalau bisa menebak, aku ingin menebak apa yang sedang dipikirkan oleh bapak pengendara motor berjas hujan warna biru tua yang baru saja lewat tepat saat aku memalingkan wajahku ke jendela. ia terlihat begitu tergesa-gesa memacu besi beroda yang ia naiki. mungkin saja di kantong celana kanannya terdapat obat demam yang sedang ditunggu oleh anaknya di rumah. atau di bagasi motornya ada flash disk yang berisikan dokumen daerah terpencil yang harus diantarkan ke badara sebelum jam 6 sore.

semoga bapak sampai di tujuan dengan selamat. jangan pipis di jalan yah pak. meskipun ini lagi hujan, orang yang pipis di celana bakalan lebih keliatan daripada orang yang nangis di tengah hujan. ingat, ketika mata mengaburkan batasan antara air dan air, masih ada hidung yang bisa membedakan antara bau hujan dan bau pipis.

 

Presiden Kelinci © 2012 | Muda, Bermutu dan Selera Semua Umat
Redesigned by @sleepingpasa