bintang utara

Pelaut tak pernah benar-benar meninggalkan darat
Ombak, angin, kompas, serta hatinya akan selalu membawanya ke darat, tempat dimana rasa ingin pulang terbayarkan

Jika kehilangan arah, carilah bintang utara
Jika kau tak menemukannya, maka cobalah cari kembali
Lihat saja!
Jangan takut menoleh ke barat, selatan atau ke timur sekalian
Dimanapun kau menemukannya, namanya tetap bintang utara

Dan engkau yang menunggu pelaut menepi, titiplah kejelasan pada bintang utara
Biarlah ia menghapus segala cemas ulah kembara
Lalu sekali lagi biarkan penerimaan bekerja seikhlasnya

Tapi siapkah engkau mengalaminya?

aku takut lulus

Lama tak berbagi tulisan di blog ini. Kiranya, selama itu pula keinginanku untuk berbagi tetap ada namun aku bingung akan membagi apa. Berbagi tulisan tidak seperti berbagi kue dengan adikmu. Berbagi kue artinya kau memberikan sebagian dari yang kau punya kemudian kau akan kehilangannya. Berbeda dengan kue, membagi tulisan akan membuat hal yang kau bagikan di dalamnya semakin utuh karena pembaca akan merekamnya di dalam kepala masing-masing.

Hari ini aku berusia 22 tahun tiga bulan tiga belas hari. Saat ini aku duduk di ruang baca katakerja. Mengenakan kaos hitam berwarna hitam dengan tulisan Fisip dan kolor kotak-kotak. Banyak buku di sini. Ada yang ditaruh di rak, disusun di atas meja, dan ada pula yang dijadikan bantal oleh teman-teman yang memilih tiduran di lantai ruang baca. Ada juga Buku-buku yang digantung melayang tepat berada di arah pukul dua belas. Di samping kananku, ada satu gelas berisikan tanah yang olehnya ditanam bunga lidah mertua. Begitu mamaku menamakan bunga tersebut. Jenis bunga ini semacam lidah buaya namun dengan permukaan yang lebih keras. Kata mama, dimana-mana lidah buaya akan selalu lemah lembut. Berbeda dengan lidah mertua yang keras dan kaku. Mama memang terkadang suka menamakan benda berdasarkan pengalaman yang ia alami.

Sore tadi, tepat di kursi yang sama aku menulis tulisan ini, aku menerima telepon dari mama. Ia  mengawali pembicaraan dengan menceritakan kerinduannya pada ita, adiknya yang meninggal saat khotbah idul fitri berkumandang.

“mama di rumah nenek vin”
“ngapain?”
“ziarah”
“ziarah?”
“ia. Ziarah ke kuburan Cuma dapat tulang. Kalau di sini dapat kenangan”
“mama sehat?”
“bagimana skripsi? Sudah sampai mana?”
“sampai di tahap yang kurang bisa dijelaskan. Mama kenal viny toh? Kalau sudah janji desember yah pasti diusahakan desember” (kuucapkan ini dengan nada agak tinggi)
“mama Cuma Tanya. Toh mama Cuma bisa kasih uang. Daya dan tenaga untuk kasih selesai skripsi kan punyamu”

Kami diam lebih dari sepuluh detik, kemudian mama melanjutkan percakapan

“mama tidak tau hidup sampai kapan. Kau akan hidup di zamanmu nak. Mama tidak bisa awasi satu kali dua puluh empat jam. Mama hanya bisa percaya. Sisanya urusanmu”

*percakapan di atas sebenarnya berbahasa manado, namaun kutulis menggunakan bahasa Indonesia

Aku kembali diam. Menyesali nadaku yang tinggi di awal pembicaraan. Setelah itu, kami membicarakan hal lainnya. Tentang adikku yang makin besar dan juga ayah yang memanggil-manggil mama untuk pergi ke acara pesta nikahan anak tetangga.

Mama kemudian menutup telepon.

Aku terdiam dan memikirkan kembali perkataan mama. Ia memang selalu begitu. Demokratis yang menampar. Aku tahu tak mudah menjadi dia. Tapi juga sungguh ma, tak mudah menjadi aku. Menjadi aku, artinya menjadi anak mama.menjadi anak mama, artinya Menjadi anak dari seorang ibu yang selalu percaya bahwa anaknya tak akan pernah mengecewakannya.

Aku takut membuatmu kecewa ma. Kau sudah terlalu banyak dikecewakan oleh banyak hal. Oleh mertua yang ternyata tidak terlalu menyukaimu karna kau bukan anak orang kaya, oleh kenyataan bahwa kau harus membiayai biaya kuliahmu sendiri karena saudara lelakimu harus didahulukan untuk berkuliah, oleh politisi yang berjanji akan membuka jalan di lahan perkebunan milik masyarakat yang lama kau perjuangkan namun ternyata hanya ingin mengeruk suara di dapil tempat ia mencalonkan diri, oleh masyarakat yang telah kau perjuangkan haknya namun ternyata membawa suamimu ke dalam penjara dan membuatmu harus bekerja keras membiayai kedua anakmu yang sedang kuliah, juga membeli susu anak terakhirmu yang berusia dua tahun. Oleh Negara yang menuduh suamimu sebagai provokator poltik lalu semena-mena memasuki rumahmu di tengah malam dan menendang suamimu kemudian membawanya pergi dengan mobil patroli seolah ia adalah maling uang Negara sebesar triliunan rupiah.

“bapakmu bukan teroris. Jangan malu. Nelson mandela saja pas keluar penjara bisa jadi presiden kan? Jadi santai saja”.

Itu yang mama ucapkan kepadaku ketika aku mendengar kabar penangkapan bapak. Mama memang sudah siap untuk hal-hal seperti ini. Tidak mudah mengurus lahan pertanian masyarakat di tengah Negara yang suka menjual tanah kepada perusahaan asing. Waktu umur Sembilan tahun, aku pernah ikut mama demo ke kantor polisi. Seingatku, waktu itu mama dan beberapa ibu lainnya yang suaminya pergi menaruh batas perkebunan masyarakat menegaskan kepada polisi bahwa mereka siap jadi janda. Waktu itu ada rumor penjualan tanah kepada salah perusahaan tambang. Tanpa ragu, mama mengkordinir teman-teman sesame ibu rumah tangga untuk melakukan demo tersebut. Sementara bapak, bersama kepala rumah tangga yang lain pergi ke area perkebunan dan membuat batas perkebunan.

Aku tahu bapakku tidak akan pernah jadi presiden. Keluarga kami tak hidup di dunia kartun. Nelson mandela hanya upaya mama untuk menjelaskan bahwa tidak semua orang yang dipenjara sepenuhnya salah. Penjara hanya tempat yang diciptakan oleh Negara untuk mengurung hal-hal yang mereka takutkan. Negara takut pada bapakku, itulah sebabnya mereka menuduh ayahku sebagai provokator. Mereka takut kebenaran terlalu lama disuarakan.

Hari ini ayahku tidak lagi di dalam penjara. Namun kau tau, tidak ada yang lebih memenjarakan selain ingatan tentang hal-hal yang melukai kedua orang tuamu. Meskipun aku tahu, mengingat kejahatan tidak lantas membuatmu jadi orang baik.

Apa kau sudah mengerti mengapa sulit menjadi aku?

Mari aku luruskan.

Menjadi mahasiswa perantau bukan perihal mudah. kau bebas memilih jalan hidupmu. Kau bisa pergi ke pusat perbelanjaan menghabiskan uang kiriman lalu ketemu cowok kaya yang bisa membuat hidupmu berlimpah uang, atau kau bisa malas-malasan di kosan sambil nonton drama korea, kau juga bisa menjadi pemanjat tebing, pendaki gunung, tukang foto ataupun berada di antara orang-orang yang mengunyah teori dan melakukan gerakan perlawanan terhadap kebijakan yang dinilai tidak merakyat. Sialnya, aku memilih yang terakhir.

Memilih jalan itu, bukan sekedar menguras tenaga untuk membaca lebih banyak, membuat kulitmu lebih gelap karena aksi jalanan, mengambil jatah tidur malammu dengan merancang strategi regenerasi gerakan dan hal tetek-bengek sok aktivis lainnya, namun juga membuatmu merasa kau tak harus kemana-mana. Dimana-mana tidak ada apa-apa. Semua sama. Orang-orang berjalan tanpa isi kepala, bekerja untuk mengisi perut dan bersenang-senang dengan isi celana.


Aku takut lulus dan menjadi apa yang aku benci. Menjadi apa yang aku benci, artinya menjadi apa yang melukai kedua orang tuaku. Menjadi apa yang melukai mereka adalah bunuh diri dengan membiarkan ragamu tetap bekerja siang dan malam.

 

Presiden Kelinci © 2012 | Muda, Bermutu dan Selera Semua Umat
Redesigned by @sleepingpasa