Lama tak berbagi tulisan di blog ini. Kiranya, selama itu
pula keinginanku untuk berbagi tetap ada namun aku bingung akan membagi apa. Berbagi
tulisan tidak seperti berbagi kue dengan adikmu. Berbagi kue artinya kau
memberikan sebagian dari yang kau punya kemudian kau akan kehilangannya. Berbeda
dengan kue, membagi tulisan akan membuat hal yang kau bagikan di dalamnya
semakin utuh karena pembaca akan merekamnya di dalam kepala masing-masing.
Hari ini aku berusia 22 tahun tiga bulan tiga belas hari. Saat
ini aku duduk di ruang baca katakerja. Mengenakan kaos hitam berwarna hitam
dengan tulisan Fisip dan kolor kotak-kotak. Banyak buku di sini. Ada yang
ditaruh di rak, disusun di atas meja, dan ada pula yang dijadikan bantal oleh
teman-teman yang memilih tiduran di lantai ruang baca. Ada juga Buku-buku yang
digantung melayang tepat berada di arah pukul dua belas. Di samping kananku, ada
satu gelas berisikan tanah yang olehnya ditanam bunga lidah mertua. Begitu mamaku
menamakan bunga tersebut. Jenis bunga ini semacam lidah buaya namun dengan
permukaan yang lebih keras. Kata mama, dimana-mana lidah buaya akan selalu
lemah lembut. Berbeda dengan lidah mertua yang keras dan kaku. Mama memang
terkadang suka menamakan benda berdasarkan pengalaman yang ia alami.
Sore tadi, tepat di kursi yang sama aku menulis tulisan ini,
aku menerima telepon dari mama. Ia mengawali pembicaraan dengan menceritakan
kerinduannya pada ita, adiknya yang meninggal saat khotbah idul fitri
berkumandang.
“mama di rumah nenek vin”
“ngapain?”
“ziarah”
“ziarah?”
“ia. Ziarah ke kuburan Cuma dapat tulang. Kalau di sini
dapat kenangan”
“mama sehat?”
“bagimana skripsi? Sudah sampai mana?”
“sampai di tahap yang kurang bisa dijelaskan. Mama kenal viny
toh? Kalau sudah janji desember yah pasti diusahakan desember” (kuucapkan ini
dengan nada agak tinggi)
“mama Cuma Tanya. Toh mama Cuma bisa kasih uang. Daya dan
tenaga untuk kasih selesai skripsi kan punyamu”
Kami diam lebih dari sepuluh detik, kemudian mama melanjutkan percakapan
“mama tidak tau hidup sampai kapan. Kau akan hidup di
zamanmu nak. Mama tidak bisa awasi satu kali dua puluh empat jam. Mama hanya
bisa percaya. Sisanya urusanmu”
*percakapan di atas sebenarnya berbahasa manado, namaun
kutulis menggunakan bahasa Indonesia
Aku kembali diam. Menyesali nadaku yang tinggi di awal
pembicaraan. Setelah itu, kami membicarakan hal lainnya. Tentang adikku yang
makin besar dan juga ayah yang memanggil-manggil mama untuk pergi ke acara
pesta nikahan anak tetangga.
Mama kemudian menutup telepon.
Aku terdiam dan memikirkan kembali perkataan mama. Ia memang
selalu begitu. Demokratis yang menampar. Aku tahu tak mudah menjadi dia. Tapi juga
sungguh ma, tak mudah menjadi aku. Menjadi aku, artinya menjadi anak mama.menjadi
anak mama, artinya Menjadi anak dari seorang ibu yang selalu percaya bahwa
anaknya tak akan pernah mengecewakannya.
Aku takut membuatmu kecewa ma. Kau sudah terlalu banyak
dikecewakan oleh banyak hal. Oleh mertua yang ternyata tidak terlalu menyukaimu
karna kau bukan anak orang kaya, oleh kenyataan bahwa kau harus membiayai biaya
kuliahmu sendiri karena saudara lelakimu harus didahulukan untuk berkuliah, oleh
politisi yang berjanji akan membuka jalan di lahan perkebunan milik masyarakat
yang lama kau perjuangkan namun ternyata hanya ingin mengeruk suara di dapil
tempat ia mencalonkan diri, oleh masyarakat yang telah kau perjuangkan haknya
namun ternyata membawa suamimu ke dalam penjara dan membuatmu harus bekerja
keras membiayai kedua anakmu yang sedang kuliah, juga membeli susu anak
terakhirmu yang berusia dua tahun. Oleh Negara yang menuduh suamimu sebagai
provokator poltik lalu semena-mena memasuki rumahmu di tengah malam dan
menendang suamimu kemudian membawanya pergi dengan mobil patroli seolah ia
adalah maling uang Negara sebesar triliunan rupiah.
“bapakmu bukan teroris. Jangan malu. Nelson mandela saja pas
keluar penjara bisa jadi presiden kan? Jadi santai saja”.
Itu yang mama ucapkan kepadaku ketika aku mendengar kabar
penangkapan bapak. Mama memang sudah siap untuk hal-hal seperti ini. Tidak mudah
mengurus lahan pertanian masyarakat di tengah Negara yang suka menjual tanah
kepada perusahaan asing. Waktu umur Sembilan tahun, aku pernah ikut mama demo
ke kantor polisi. Seingatku, waktu itu mama dan beberapa ibu lainnya yang
suaminya pergi menaruh batas perkebunan masyarakat menegaskan kepada polisi
bahwa mereka siap jadi janda. Waktu itu ada rumor penjualan tanah kepada salah perusahaan
tambang. Tanpa ragu, mama mengkordinir teman-teman sesame ibu rumah tangga
untuk melakukan demo tersebut. Sementara bapak, bersama kepala rumah tangga
yang lain pergi ke area perkebunan dan membuat batas perkebunan.
Aku tahu bapakku tidak akan pernah jadi presiden. Keluarga kami
tak hidup di dunia kartun. Nelson mandela hanya upaya mama untuk menjelaskan
bahwa tidak semua orang yang dipenjara sepenuhnya salah. Penjara hanya tempat
yang diciptakan oleh Negara untuk mengurung hal-hal yang mereka takutkan.
Negara takut pada bapakku, itulah sebabnya mereka menuduh ayahku sebagai
provokator. Mereka takut kebenaran terlalu lama disuarakan.
Hari ini ayahku tidak lagi di dalam penjara. Namun kau tau, tidak
ada yang lebih memenjarakan selain ingatan tentang hal-hal yang melukai kedua
orang tuamu. Meskipun aku tahu, mengingat kejahatan tidak lantas membuatmu jadi
orang baik.
Apa kau sudah mengerti mengapa sulit menjadi aku?
Mari aku luruskan.
Menjadi mahasiswa perantau bukan perihal mudah. kau bebas
memilih jalan hidupmu. Kau bisa pergi ke pusat perbelanjaan menghabiskan uang
kiriman lalu ketemu cowok kaya yang bisa membuat hidupmu berlimpah uang, atau
kau bisa malas-malasan di kosan sambil nonton drama korea, kau juga bisa
menjadi pemanjat tebing, pendaki gunung, tukang foto ataupun berada di antara
orang-orang yang mengunyah teori dan melakukan gerakan perlawanan terhadap
kebijakan yang dinilai tidak merakyat. Sialnya, aku memilih yang terakhir.
Memilih jalan itu, bukan sekedar menguras tenaga untuk
membaca lebih banyak, membuat kulitmu lebih gelap karena aksi jalanan,
mengambil jatah tidur malammu dengan merancang strategi regenerasi gerakan dan
hal tetek-bengek sok aktivis lainnya, namun juga membuatmu merasa kau tak harus
kemana-mana. Dimana-mana tidak ada apa-apa. Semua sama. Orang-orang berjalan
tanpa isi kepala, bekerja untuk mengisi perut dan bersenang-senang dengan isi
celana.
Aku takut lulus dan menjadi apa yang aku benci. Menjadi apa
yang aku benci, artinya menjadi apa yang melukai kedua orang tuaku. Menjadi apa
yang melukai mereka adalah bunuh diri dengan membiarkan ragamu tetap bekerja
siang dan malam.