kemeja abu-abu yang kukenakan malam itu sudah mulai terasa lengket. keringat yang berlapis-lapis di tiap bagian lipatan tubuh mulai mengeluarkan aroma tak menyenangkan bagi orang-orang disekitarku. Dengan segenap ingatan tentang iklan indomie layaknya di televisi, ku sedot satu gempulan garpu penuh mie rasa kaldu ayam. aku selalu ingat dede teman seangkatanku ketika indomie tersaji di mejaku. dari keseluruhan cita-cita yang pernah kudengar, menurutku cita-citanya adalah yang paling mulia dan tak terpikirkan oleh orang lain. memiliki satu buah cafe yang menyajikan indomie persis dengan saran penyajian yang ada di bungkusnya. menurutku cita-cita dede itu akan mewadahi keinginan banyak orang mengingat Indomie adalah satu-satunya pilihan rakyat indonesia yang tidak pernah menghianati rakyat.
sebelum melenceng ngomongin dede dan negara, aku akan kembali ke jalan yang lurus dan membagi cerita tentang tamparan indah yang kudapat dari seorang pemulung yang kira-kira berusia 50 tahun.
bersama Ilang, motor yang kami kendarai kemudian membawa kami ke sebuah tempat ngopi yang akhir-akhir ini menjadi tempat favorit. ketika sedang asik berdiskusi mulai dari masalah negara sampai menggosipi senior kami yang tetap bertahan dengan ideologi yang dia pegang, perhatianku ditarik oleh seorang pemulung yang mendorong gerobak sampahnya dan tiba-tiba datang dan duduk beristirahat di samping tempat dudukku.
lelaki paruh baya itu kemudian melempar senyum kepadaku sambil meminta izin untuk duduk beristirahat dengan menggunakan bahasa tubuh. akupun tersenyum balik kepadanya dan kembali bercerita dengan teman-temanku. dua menit berselang, hatiku tergerak untuk mengajaknya makan. kubalikkan badanku menghadap ke arahnya kemudian menanyakan apakah dia sudah makan atau belum. dia membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan. akupun beranjak dari tempat dudukku dan memesan satu mangkuk indomie kuah untuk si pemulung berkaos biru itu.
dua meja sebelum tempat dudukku. aku melihat pemulung tersebut melambaikan tangannya ke arahku. dengan setengah berlari aku mneghampirinya. aku kemudian menyampaikan kepadanya bahwa aku telah memesankan makanan untuknya. diluar perkiraanku, pemulung yang ternyata bisu itupun hanya melambai-lambai dan langsung berdiri kemudian mendorong gerobak sampahnya menjauhi tempatku.
aku diam.
entah mengapa tetesan hangat terasa mengalir di pipiku. aku tiba-tiba merasa malu dengan kejadian hari itu. apa yang bisa aku katakan? mungkin kalian bisa menyimpulkannya sendiri. diantara kami yang sedang membicarakan negara, masalah sosial, keadilan yang tak pernah terealisasi dan segala yang seolah-olah bisa kami perbaiki hanya dengan berbicara, Tuhan secara tiba-tiba mengirim seseorang dari surga untuk menampar kami. memastikan kami sadar bahwa kami terlalu banyak berdusta kepada diri sendiri. membual dengan segala ketidak mampuan kami.
aku melihat sosok orang yang merasakan surga dimanapun juga. dengan harga diri yang terjaga dan segala usaha yang tak main-main. pemulung itu membuatku tak lagi berpikir tentang surga yang free wifi, atau outlet j.co disamping kolam susu firdaus. surga ada ketika kita mensyukuri apa yang ada dan tidak terlalu berharap pada orang lain. terimakasih bapak pemulung.
perkara keikhlasan.
5 tahun yang lalu
cita-cita mulai Dede mengawali tulisan dengan senyuman..
BalasHapusnamun kisah pemulung mengakhirinya dengan pesan yang dalam (pria pantang mengaku terharu :)
saya juga tidak terharu. saya cuma agak malu..
Hapussepertix kita tidak boleh sok tau dgn keadaan orang yg akan kita beri, walaupun dia belum makan tp belum tentu dia lapar ataupun belum tentu dia mau makan.. sama dgn calon2 pejabat negara kita ini, sok tau memberikan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, listrik gratis dan segala macam yg pokokx gratisan, padahal belum tentu itu yg kita mau.. yg kita mau itu adalah kesejahteraan, lapangan kerja dan gaji yg cukup.. karena tangan di atas lebih baik dari tgn di bawah dan krn kita bukan bangsa gratisan.. ''kepanjangankomentx''
BalasHapus