Rencana adalah semacam peta kehidupan. Barangsiapa tak punya
rencana, ia akan lebih mudah tersesat dibandingkan orang yang punya rencana.
Meskipun ada iklan yang bilang kalau ‘lebih baik tersesat daripada nanya’,
namun tersesat tetap saja tidak enak didengar, apalagi kalau kamu sudah dua
puluh tahun ke atas dan seorang calon sarjana.
Waktu kecil saya pernah bertanaya kepada Mama tentang berapa
banyak langkah yang ia lakukan setiap harinya. Pertanyaan itu muncul ketika
Saya sedang berada di rumah Nenek dan mengajak Mama pulang ke rumah, namun Mama
tak juga membawa Saya pulang, karena sibuk mondar-mandir menyapu dan
membersihkan perabotan di rumah Nenek. Mama memang suka meluangkan waktu untuk
membersihkan rumah Mamanya. Katanya, merawat rumah Mama, adalah cara merawat
ingatan.
Ketika kebosanan memuncak dan Saya mengambil ancang-ancang
untuk menangis, Mama akhirnya duduk di samping Saya dan memulai pembicaraan.
“Mesin jahitnya nenek sudah lama tidak diminyaki. Nanti
ingatkan Mama beli minyak kalau kesini lagi yah.” Ia seolah bicara dengan diri
sendiri.
Saya tidak menimpali. Melihat kekesalan saya, ia akhirnya
malanjutkan kata-katanya
“Viny sekarang umur berapa?”
“Sembilan tahun.” Saya menjawab ketus
“kalau Mama tidak salah ingat, Viny bisa jalan mulai umur
sebelas bulan. Berarti kita anggap saja viny sudah bisa jalan selama delapan
tahun”.
“Ia delapan tahun.” Saya mulai antusias terhadap tanggapan Mama
tentang pertanyaan yang Saya kira tidak Ia hiraukan.
“anggap saja sehari viny biasa jalan sebanyak 500 langkah.
Coba dikalikan delapan tahun”
“Wih banyak Ma. Mama berarti 500 dikali tiga puluh delapan.
Lebih banyak lagi!”
“nah. Anggap saja selama delapan tahun viny sudah melangkah
sebanyak tiga miliar langkah. Kalau tidak belok-belok, viny sudah sampai dimana?”
“Di Surabaya Ma?”
“haha. Bisa jadi. Tapi kenapa di Surabaya?”
“Karena ada lagunya. Hahaha.”
Kejengkelan Saya yang tadinya hampir pecah menjadi air mata
sudah mulai saya lupakan. Mama Saya memang seorang penyihir. Ia mudah
membolak-balikkan perasaan anak-anaknya.
Merasa sangat tertarik dengan pembicaraan bersama Mama, saya
melanjutkan pertanyaan saya.
“kalau Viny tiga ratus miliar langkah, mama berarti tiga
ratus triliun langkah. Mama kalau jalan lurus tidak belok-belok sudah sampai di
mana?”
“Di Mekah mungkin. Tapi tidak sempat naik haji karena kalau
orang naik haji harus jalan putar-putar. Tidak boleh lurus-lurus jalannya.”
“hahahahaha. Tapi kenapa tidak ke Mekah saja? kenapa masih
di rumah nenek?”
Pertanyaan saya yang satu ini membuat Mama tidak langsung
menjawab. Ia berhenti beberapa saat untuk berpikir kemudian menjawab
“Mama atau Viny bisa jalan lurus-lurus terus dan tidak tahu
ada di mana sekarang kalau itu yang kita lakukan. Tapi karena kita jalannya
belok-belok dan mondar-mandir, makannya kita ada di sini sekarang”
“tapi kenapa tidak jalan lurus-lurus saja?”
“Coba bayangkan kalau semua orang langkahnya lurus-lurus
saja, siapa yang mau bangun rumah? siapa mau bikin es tong-tong? Siapa yang
jualan bakso di pasar jajan?. Semua orang hanya akan melangkah lurus tanpa
membuat satu apapun yang akan tetap tinggal.”
“tapi bisa menanam pohoh, tinggal makan mangga, buang biji,
terus tumbuh pohon mangga.”
“pohon tidak perlu ditanam, kalau manusia jalannya
lurus-lurus Viny, kan tidak akan ada yang tinggal untuk menebang pohon”
“Ia sih.” Aku mulai menyerah membantah pendapat mama.
“kita punya yang namanya kehendak. Kehendak yang membawa
kita ada di rumah nenek sekarang dan bukan di Mekah atau di Surabaya.”
“Kehendak itu apa ma?”
“semacam dorongan untuk membuat sesuatu yang menyenangkan”
“berarti mama senang di rumah Nenek? Lebih senang daripada
ke Mekah?”
“Mama lebih senang di rumah nenek, bolak-balik membersihkan
dan membuat nenek senang, daripada jalan lurus ke Mekah, sudah capek, tidak
naik haji dan Nenek juga tidak senang karena tidak punya teman.”
“Viny kalau ke Surabaya mau ajak Puput, jadi ada temannya”
“Puput juga punya kehendak sendiri. Siapa tau dia maunya ke
Bandung, kan Viny jadinya sendiri?”
“tidak enak.”
“Itulah kenapa kita disini. Lebih baik di satu tempat tapi
langkahnya jelas buat apa, daripada jauh-jauh melangkah tapi tidak tau mau buat
apa.”
“kalau Viny ke Surabaya nanti Viny jual es tong-tong”
Seolah tak mendengar jawabanku, mama melanjutkan
kata-katanya
“Mama di rumah nenek biar tetap merasa jadi anak-anak.
Karena berapapun umur Mama, Nenek akan tetap melhiat mama sebagai anak-anak.
Mama suka jadi anak-anak.”
“Viny suka jadi orang dewasa. Bisa pergi ke Toko sendirian.”
“hahaha. Kepala batu!. Ayo pulang.”
Mama mengakhiri perbincangan kami dengan jawaban yang sangat
memuaskan. Hingga hari ini, Mama tetap
membersihkan rumah Nenek meskipun Nenek sudah tinggal bersama kami. Ia tetap
melangkah mondar-mandir di kehendak dan ingatannya.
Sementara Saya, berada di Makassar dan merasa sulit menjelaskan
kehendak kepada Mama. Jangankan menjelaskan kehendak, mengetahui apa kehendak
Saya juga Saya tidak berhasil. Mama memang benar, berjalan lebih jauh tidak
serta merta membuat rencana kita menjadi lebih besar.
0 komentar:
Posting Komentar